EXPOSTASE: pendaki di puncak Gunung Everest membludak pendaki di puncak Gunung Everest membludak | EXPOSTASE

pendaki di puncak Gunung Everest membludak

TIGABUANA - Enam dekade setelah penaklukan Gunung Everest, pendaki gunung mengeluh adanya kemacetan pendaki di jalur puncak Gunung Everest. Pengkritik menyebutkan, ibarat kemacetan di pintu tol saat akhir pekan. Bagaimana mungkin gunung tertinggi di dunia menjadi begitu padat?


Pada 29 Mei 1953, Edmund Hillary dan Tenzing Norgay berdiri berdua saja di bagian paling tinggi di dunia tersebut. Kini, kondisinya berbeda. Puncak yang sama bukan lagi titik yang terpencil.

Tahun ini beberapa pendaki mengeluh menunggu hingga 2,5 jam di antrean kemacetan dalam pendakian mereka ke puncak Everest.


Sejumlah foto yang disiarkan bulan ini oleh AFP dan AP, terlihat antrean mengular di jalur punggungan menuju puncak. Memicu perdebatan apakah hal itu merusak kenikmatan pendakian.


Orang di negara-negara barat merogoh kocek berapa pun mulai dari 10,000 dollar AS hingga 100.000 dollar AS untuk membayar izin mendaki dan pemandu. Industri pariwisata yang besar telah bermunculan di kaki gunung, sekaligus membawa masalah sampah dan sanitasi yang buruk.

"Hanya ada orang di mana-mana," kata Ayisha Jessa (31), seorang pendaki dari London yang baru saja mengunjungi base camp Everest. Di desa terdekat Namachi, katanya, "itu benar-benar dikomersialisasikan, semuanya ditujukan untuk wisatawan barat."

Bisnis

Sejumlah pendaki menilai, ke puncak Everest lebih sebagai bisnis dibanding sebuah "pencarian".

"Ini bukan lagi pengalaman menjelajah alam, ini pengalaman McDonald," kata Graham Hoyland, pendaki gunung berpengalaman dan penulis The Last Hours on Everest, pendakian naas 1924 oleh George Mallory dan Andrew Irvine.

Kemajuan teknologi prakiraan cuaca memberi andil dalam memperburuk kemacetan di jalur menuju puncak. Pemahaman yang lebih baik tentang penyakit ketinggian juga telah membantu lebih banyak pendaki gunung berhasil menginjakkan kaki di puncak yang memiliki ketingian 8.848 meter itu.

Untuk pengeluaran keuangan mereka, orang barat diberi pasokan oksigen, dan sangat sering pemandu gunung Nepal ditugaskan secara khusus untuk memastikan mereka sampai ke puncak.

Konflik

Sains membuat pendakian Everest kian mudah. Jordan Romero asal California, pada 2010 menjadi orang termuda yang mendaki Everest saat berusia 13 tahun. Adapun Yuichiro Miura dari Jepang berhasil mencatat rekor pendaki tertua berusia 80 tahun yang mencapai puncak pekan lalu untuk summiter tertua. Min Bahadur Sherchan, berusia 81 tahun asal Nepal, saat ini sedang berusaha merebut gelar Miura.

"Biasanya, selama mereka tidak terlalu sakit atau terlalu lemah, hampir semua orang, jika mereka memiliki cukup uang dan kesabaran, bisa mendaki Everest," kata Eberhard Jurgalski, yang telah mencoba untuk mencatat setiap pendakian Everest sejak 1953.

"Juga, jika cuaca belum baik selama beberapa minggu, akan jauh lebih padat saat hari-hari dinyatakan dapat naik," katanya.

Hoyland mengatakan, banyak pendaki kurang tahu cara mengoperasikan tali atau menggunakan crampon. "Ada bencana besar yang menunggu untuk terjadi."

Pada tahun 1996, delapan orang meninggal dalam waktu 36 jam di dekat puncak. Pada 2012, sekitar 10 orang meninggal di gunung, tiga dari mereka sherpa. Data dari AFP menyebutkan sejak 1953 hingga 2010 terhitung ada 4.400 orang yang telah mendaki ke Gunung Everest. Sebanyak 206 di antaranya tewas. 

Jadi, tidak mengherankan bahwa ketegangan telah terbangun.

Menurut Hoyland, para pendaki berpengalaman telah frustrasi menghadapi antrean panjang para pendaki amatir yang menggunakan tali tetap dan memperlambat mereka.

Emosi di gunung memuncak pada April ketika perkelahian pecah di ketinggian 7.470 meter antara dua pendaki terkenal Eropa, Ueli Steck dan Simone Moro, dan sekelompok pemandu gunung Nepal.

Masalah sampah

Sampah dan kotoran manusia menjadi masalah pelik di atap dunia ini. Botol-botol oksigen, bendera doa, dan bekas tenda rusak berhamburan di puncak. Serangkaian ekspedisi khusus untuk aksi bersih-bersih telah dilakukan untuk menekan masalah ini.


Solusi lain yang diusulkan yaitu membatasi jumlah pendaki. Sampai tahun 1985, Pemerintah Nepal hanya diperbolehkan melakukan satu ekspedisi pada setiap rute ke puncak pada satu waktu.

Lainnya menyarankan, izin pendakian baru bisa dikeluarkan jika pendaki telah menjalani pelatihan atau setidaknya menunjukkan pengalaman mendaki gunung. "Jika setiap orang naik memiliki setidaknya sedikit gambaran tentang budaya pendakian, itu akan membuat perbedaan besar," kata Hoyland. 

edit/source : iyuza/BBC/AFP/Kompas/www
YUSUF

Hai, saya adalah seorang Digital Marketing dan Content Writer dan sangat menyukai dunia otomotif dan travel. Salam kenal :)

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama